Notification

×

Iklan

Iklan

Header Ads

Mengungkap Misteri Para Ghostwriter

Sabtu, Juli 13, 2013 | 19.00 WIB | Last Updated 2021-02-20T23:54:55Z

GENERASI INDONESIA | Ketika telepon itu berdering, sejurus saling menyapa dan bercerita, tokoh di seberang telepon lalu tertawa. Si tokoh aku tampaknya bingung dan bertanya:

"Ada apa, Mas?"

"Gini, ini ada seorang anggota DPR mau bikin buku. Dan ada lagi seorang penyanyi dangdut juga mau bikin buku. Kamu yang ngerjain ya?"

"Wah, nggak ah…"
"Kenapa?"
"Aku masih ada kerjaan ngedit buku."
"Buku apa?"
"Hak-hak kesehatan masyarakat."
"Gila! Ngapain kamu mau bikin buku kayak gitu?"
"Itu buku penting. Buku A. Nggak dibayar juga aku mau."


Lalu si tokoh menceritakan istilah buku A merupakan proyek buku sebagai penegasan sikap politik ataupun dukungan terhadap ideologinya.

Penggalan dialog itu dicuplik dari novel karya Puthut EA, Berani Beli Cinta dalam Karung? yang, berdasarkan keterangan dalam biodatanya, telah mengukuhkannya sebagai seorang "Detektif Partikelir".

Detektif Partikelir, dalam novel itu, dijelaskan sebagai semacam sindikasi jenjang terendah seseorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap bukan karena tidak bisa mendapat pekerjaan, melainkan sebagai pilihan (halaman 150).

Kategori berikutnya, jika ia bertahan dalam lima tahun, akan naik ke jenjang yang disebut “Pembunuh Bayaran”. Lalu, pada tahun ke-10, bila berhasil bertahan, masuk kategori "Setan Belang", dan pada tahun ke-20, menapak posisi puncak, yaitu "Dewa Laut".

Tokoh aku dalam novel itu, sebagai seorang penulis, bekerja sesuai dengan kategori buku pesanan yang didapat. Kategori buku E, misalnya, buku yang dibuat untuk tujuan tertentu. Biasanya yang membuat adalah para pejabat, konglomerat, atau artis.

Atau buku C, sebuah proyek buku biografi tokoh. Buku C adalah buku penting dengan imbalan yang memadai, meski tidak sebesar proyek buku E.

Ada juga buku B, yaitu buku proyek pribadi si Pembunuh Bayaran, seperti membuat novel, kumpulan puisi, dan beberapa buku pribadi lain.

Lalu terakhir ada juga buku D, yang biasa disebut proyek senang-senang. Misalnya, menovelkan film dan membantu menuliskan pengalaman teman, yang biasanya berawal dari ketertarikan serta ingin mencoba hal-hal yang baru.

Ilustrasi itu menggambarkan dunia pekerjaan yang selama ini disebut sebagai ghostwriter atau penulis bayangan. Bisa saja benar apa yang diceritakan Puthut EA dalam novelnya.

Seorang penulis bayangan lain yang pernah berada di balik buku-buku tokoh politik, bahkan sengketa novel Jokowi (baca Detik edisi 15 Juni 2013), Mahar Prastowo, mengungkapkan, fenomena ghostwriter belakangan ini memang sudah meluas. Sistem sindikasi seperti yang diceritakan Puthut EA tak lagi efektif.

"Masing-masing (ghostwriter) kan bersaing, jadi tergantung lobi-lobi mereka, sih," ujar penulis yang sudah menulis ratusan buku termasuk pesanan tokoh politik dan pengusaha di Indonesia itu kepada Detik, Rabu malam lalu.

Berbeda dengan novel Puthut EA, yang dekat dengan kehidupan politik Orde Baru, saat ini, kata Mahar, banyak muncul politikus yang ingin dikukuhkan eksistensinya melalui sebuah buku. Namun, sayang, mereka tidak tahu bagaimana harus memulai dengan gagasannya yang banyak itu.

Ghostwriter, kata dia, memang tidak ada legalitas hukumnya, tapi memiliki etika. Syarat mutlak seorang ghostwriter adalah menjaga rahasia. Maka, ia menegaskan, tidak bisa benar-benar membeberkan portofolio proyeknya, kecuali kepada obyek yang akan ia tulis.

"Sebagaimana etikanya, nama kita pun tidak boleh muncul sekata pun dalam buku yang digarap," ujar Mahar.

Mekanisme mereka mendapat proyek, Mahar melanjutkan, biasanya masuk melalui relasi jaringan pribadi. Seperti dirinya, ia membeberkan, karena berlatar jurnalis, banyak bertemu dengan tokoh politik dan pebisnis yang gagasannya ingin dibukukan. Soal tarif pun, menurut dia, tidak ada standar harga baku.

Setelah kemunculan media sosial Facebook pada 2008, Mahar, yang bergabung dengan organisasi Grafika Digital, yang mengedukasi perubahan media konvensional ke digital, melihat peluang baru. Di sana banyak user, terutama tokoh, yang tidak bisa sama sekali menuangkan gagasan mereka dalam media sosial.

"Bayangkan, saya punya banyak akun Facebook atas nama orang lain, dan ini sebuah dunia ghostwriter yang lain," ujar penulis yang sanggup mengerjakan proyek buku dalam lima hari itu.

RESTU A PUTRA

(utw/utw)

detikhot
×
Berita Terbaru Update