Oleh: Noorca M. Massardi
Saya mengenal langsung Kang Ajip Rosidi ketika sastrawan / budayawan itu menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ 1972-1981) pada usianya yang ke 34. Pengarang asli Sunda kelahiran Jatiwangi, Senin, 31 Januari 1938, itu sudah sangat terkenal sejak 1950-an. Sebelum generasi saya lahir. Artinya, sejak Ajip sekolah dasar umur 12 tahun, dan melejit pada saat SMP, ketika usianya masih 16 tahun. Ketika itu, ia sudah diakui sebagai sastrawan nasional, karena karya-karya prosa dan puisinya, banyak dimuat di pelbagai media sastra dan kebudayaan, sejajar dengan karya-karya Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka, dan Angkatan 1945, yang usianya belasan bahkan puluhan tahun di atasnya.
Yang menarik, setiap kali bertemu dengan orang Jawa Barat, Kang Ajip selalu berbasa Sunda. Termasuk dengan saya dan kembaran saya Yudhistira ANM Massardi, yang kebetulan lahir di Subang, Jawa Barat. Ketika itu, kami masih luntang-lantung di Jakarta, antara Tanah Abang, Kebayoran Blok M (Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta Selatan), dan Cikini Raya (TIM). Saat itu, kami memang tengah merintis karir dan bercita-cita “muluk” untuk menjadi “pengarang terkenal.” Baik di bidang sastra (prosa puisi) maupun drama (penulisan lakon, aktor, dan sutradara). Maklum, saat itu kami masih berusia 18 tahun, dan lagi senang-senangnya berkhayal, dalam perut lapar, sambil memandang ke langit tinggi.
Saya mengenal langsung Kang Ajip Rosidi ketika sastrawan / budayawan itu menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ 1972-1981) pada usianya yang ke 34. Pengarang asli Sunda kelahiran Jatiwangi, Senin, 31 Januari 1938, itu sudah sangat terkenal sejak 1950-an. Sebelum generasi saya lahir. Artinya, sejak Ajip sekolah dasar umur 12 tahun, dan melejit pada saat SMP, ketika usianya masih 16 tahun. Ketika itu, ia sudah diakui sebagai sastrawan nasional, karena karya-karya prosa dan puisinya, banyak dimuat di pelbagai media sastra dan kebudayaan, sejajar dengan karya-karya Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka, dan Angkatan 1945, yang usianya belasan bahkan puluhan tahun di atasnya.
Yang menarik, setiap kali bertemu dengan orang Jawa Barat, Kang Ajip selalu berbasa Sunda. Termasuk dengan saya dan kembaran saya Yudhistira ANM Massardi, yang kebetulan lahir di Subang, Jawa Barat. Ketika itu, kami masih luntang-lantung di Jakarta, antara Tanah Abang, Kebayoran Blok M (Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta Selatan), dan Cikini Raya (TIM). Saat itu, kami memang tengah merintis karir dan bercita-cita “muluk” untuk menjadi “pengarang terkenal.” Baik di bidang sastra (prosa puisi) maupun drama (penulisan lakon, aktor, dan sutradara). Maklum, saat itu kami masih berusia 18 tahun, dan lagi senang-senangnya berkhayal, dalam perut lapar, sambil memandang ke langit tinggi.
Kantor DKJ terletak di lantai dua sebuah gedung bertingkat, di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73. Di ruangan yang “berwibawa” itu selain berkenalan dengan Kang Ajip, kami juga berjumpa dan sesekali berseloroh atau “diejek” oleh Wahyu Sihombing (“Bapak Teater Remaja”), sastrawan Ramadhan KH yang menjabat Sekretaris DKJ, dan beberapa anggota DKJ terkenal lainnya. Ketika itu, tentu saya tak pernah membayangkan, bahwa suatu hari kelak, pada 1990-1993, saat berusia 36 tahun, saya bisa terpilih menjadi anggota DKJ, sekaligus Ketua Komite Teater, dan kemudian menjadi Ketua DKJ (lebih tua dua tahun dari Kang Ajip), meneruskan kiprah para tokoh ternama itu.
Dan, sekadar catatan, salah satu milestone saya sebagai Ketua DKJ adalah berhasil membawa rombongan seniman/budayawan melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI di Senayan, untuk menyampaikan petisi yang saya buat, yang ditandatangani semua sastrawan / budayawan terkemuka saat itu. Kami mengadukan perihal pelarangan pentas di TIM, bagi Bengkel Teater Rendra, Teater Koma N. Riantiarno, Swara Mahardhika Guruh Soekarnoputra, dan Orkes Melayu Soneta Rhoma Irama. Selanjutnya, kami mendatangi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Soedomo, ketika kekuasaan rezim militer Orde Baru Presiden Soeharto masih sangat kuat dan represif, pada 11 Desember 1990.
Hasilnya?
Soedomo mengizinkan mereka semua pentas kembali di TIM, walau pada pelaksanaannya masih tetap dipersulit oleh aparat keamanan di bawahnya. Dan, sepanjang sejarah, kedatangan para seniman ke DPR RI itu hanya dapat terulang kembali, pada 17 Februari 2020, ketika saya memimpin rombongan seniman, menyampaikan keluhan kepada Komisi X, dalam sebuah RDPU, ihwal penghancuran dan rencana komersialisasi kompleks PKJ-TIM oleh Pemda DKI, tanpa konsultasi dengan para seniman. Termasuk dengan Kang Ajip sebagai salah seorang penggagas dan pendirinya yang masih hidup.
Selanjutnya...
Ajip Rosidi: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (2)