GEN-ID 🇮🇩 | Editorial - Kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat miskin, yang didorong kuat melalui Inpres No 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar, diapresiasi oleh salah satu ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi. Sudah tentu ada banyak pelajaran berharga dalam bagaimana pemerintah saat itu mendesain kebijakan pembangunan di sektor pendidikan.
Atas keberhasilan program SD Inpres ini, pada 19 Juni 1993 UNESCO memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto berupa Piagam The Avicenna. Avicenna diambil dari nama seorang tokoh ilmu pengetahuan dari Dunia Islam di abad X di Timur, terkenal dipanggil dengan nama lbnu Sina, seorang filosof dan ilmuwan bidang kedokteran yang oleh UNESCO nama besarnya dijadikan simbol penghargaan di bidang pendidikan dan etik dalam sains.
Berbekal spirit untuk mewujudkan kesempatan yang sama atas Pendidikan, hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring kebijakan itu, juga ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut.
Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) I mencapai hampir Rp6,5 triliun.
Esther Duflo, ekonom asal Perancis itu mendapat pegharagaan nobel ekonomi usai menerbitkan hasil penelitiannya soal program SD Inpres beserta dampak kedepannya yang ia beri judul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment”.
Penelitian Duflo ini merupakan syarat dia mengambil PhD di MIT pada 1999, sekaligus menjadi pembuktian konklusif bahwa di negara berkembang pada umumnya seperti juga kasus di Indonesia, adanya lebih banyak pendidikan juga berarti menghasilkan upah yang lebih tinggi.
Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu, yaitu pada 1973 – 1974.
Merujuk data Bank Dunia, menurut Duflo di sepanjang antara tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak. Total biaya yang dikeluarkan lebih dari 500 juta dollar AS atau setara 1,5 persen dari GDP tahun 1973.
SD Inpres muncul di era Soeharto untuk memperluas kesempatan belajar di perdesaan maupun perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah.
Duflo menjelaskan, bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Program
SD Inpres dinilai telah mendorong
proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk
menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar.
Menurut hitungannya, keberhasilan pembangunan
pendidikan ini bahkan memberikan dampak pengembalian ekonomi sekitar 6,8
hingga 10,6 persen.
“Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program,” tulis Esther Duflo.
Duflo menyimpulkan
kebijakan ini sukses "meningkatkan" perkonomian yang dampaknya di tahun 1988
tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Lalu,
tercatat di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8
persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar
3 - 5,4 persen.
Mahar Prastowo 📲